Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya
bom atom (oleh Amerika Serikat) di
Hiroshima dan
Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut,
Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya
melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah
pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika
gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal
15 September 1945, tentara
Inggris mendarat di
Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal
25 Oktober 1945. Tentara
Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam
AFNEI (
Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama
Blok Sekutu,
dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan
perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke
negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa
misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda
sebagai negeri jajahan
Hindia Belanda.
NICA (
Netherlands Indies Civil Administration)
ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan
tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan
pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara
AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr.
W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal
18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan
bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di
tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan
harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan
pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen
Soedirman, pejuang dan
diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (
Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah
Dai Nippon Surabaya Syu,
sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang
melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan
Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari
gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk
menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan
Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol,
dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman
dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono
yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam
pemanjatan tiang bendera dan bersama
Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian
birunya, dan mengereknya ke puncak
tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal
27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris
. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak
Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal
D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden
Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby
Setelah
gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal
29 Oktober 1945,
keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di
Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak
dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal
Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk
Jawa Timur), pada
30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil
Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati
Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan
pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granat yang menyebabkan
jenazah
Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Mallaby,
Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum
10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota
Parlemen Inggris dari
Partai Buruh Inggris (
Labour Party). Pada
20 Februari 1946, dalam perdebatan di
Parlemen Inggris (
House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan
telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik
Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari
komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata.
Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby
keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah
kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India
untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah
jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir
Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India
untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren
dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran
lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata
sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai
setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam
mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh
orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan
serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh
sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari
saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat
kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk
pertanyakan ... "
[4]
10 NOVEMBER 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor
Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa
semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan
meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri
dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para
pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan /
milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan
bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan
Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu,
banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara
Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan
berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung
pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000
infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan
meriam dari
laut dan
darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh
kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk
dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi
korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo di
Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalam
Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.
[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di
Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat
seperti pelopor muda
Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat
perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di
tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan
ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH.
Hasyim Asy'ari,
KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai
pesantren lainnya juga mengerahkan
santri-santri
mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu
masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih
patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia
berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan
dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala
besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota
Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.
[2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.
[3]
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa
tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk
mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang
yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November
ini kemudian dikenang sebagai
Hari Pahlawan oleh
Republik Indonesia hingga sekarang.